Minggu, 01 Maret 2015

filsafat hukum


Nama               : Adhitya Hardly Darmawan
Fak/Jur            : Magister Ilmu Hukum



CONTOH KASUS
Filsafat Hukum


Pencurian Tiga Biji Kakao

Ada sebuah kasus hukum yang sangat menarik untuk ditelaah, yakni  seorang nenek berumur 55 Tahun yang bernama Minah diganjar 1 bulan 15 hari penjara karena menyangka perbuatan isengnya memetik 3 buah kakao di perkebunan milik PT. Rumpun Sari Antan (RSA)  adalah hal yang biasa saja. Ironi hukum di Indonesia ini berawal saat Minah sedang memanen kedelai di lahan garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, pada 2 Agustus lalu. Lahan garapan Minah ini juga dikelola oleh PT RSA untuk menanam kakao. Ketika sedang asik memanen kedelai, mata tua Minah tertuju pada 3 buah kakao yang sudah ranum. Dari sekadar memandang, Minah kemudian memetiknya untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya. Setelah dipetik, 3 buah kakao itu tidak disembunyikan melainkan digeletakkan begitu saja di bawah pohon kakao.  Dan tak lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Minah mengaku hal itu perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu tidak boleh dilakukan karena sama saja mencuri. Sadar perbuatannya salah, Minah meminta maaf pada sang mandor dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. 3 Buah kakao yang dipetiknya pun dia serahkan kepada mandor tersebut. Minah berpikir semua beres dan dia kembali bekerja.  Namun dugaanya meleset. Peristiwa kecil itu ternyata berbuntut panjang. Sebab seminggu kemudian dia mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi. Proses hukum terus berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk sebagai seorang terdakwa kasus pencuri di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. Majelis hakim yang dipimpin Muslih Bambang Luqmono SH memvonisnya 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan. Minah dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian.


ANALISIS KASUS

Pandangan Aliran Positivisme

Kasus nenek Minah menurut aliran positivis adalah sebuah perbuatan yang harus dihukum, tanpa menghiraukan besar kecil yang dicurinya. Penegakan hukum terhadap nenek Minah harus dilepaskan dari unsur-unsur sosial serta moralitas, karena menurut kaca mata aliran ini tujuan hukum adalah kepastian, tanpa adanya kepastian hukum tujuan hukum tidak akan tercapai walaupun harus mengenyampingkan rasa keadilan.
Menurut Austin, hukum terlepas dari soal keadilan dan terlepas dari soal baik dan buruk. Karena itu, ilmu hukum tugasnya hanyalah menganalisis unsur-unsur yang secara nyata ada dalam sistem hukum modern. Ilmu hukum hanya berurusan dengan hukum positif, yaitu hukum yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau keburukannya. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara.
Aliran Positivisme hukum telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu pelajaran yang menyatakan tidak ada hukum di luar undang-undang, undang-undang menjadi sumber hukum satu-satunya. Undang-undang dan hukum diidentikkan.
Ketika nenek Minah kedapatan mengambil 3 buah kakao, yang secara ekonomi nilainya tidak seberapa, nenek Minah harus berurusan dengan hukum, karena perbuatan yang dilakukan nenek Minah menurut hukum Pidana termasuk kepada perbuatan pidana yakni tindak pidana pencurian. Menurut Aliran Positivisme bagaimana pun hukum  harus ditegakkan tanpa melihat baik atau buruknya serta adil atau tidak adilnya. Hukum harus dilepaskan dari unsur-unsur sosial, karena tujuan dari aliran ini adalah kepastian hukum.
Menurut paham positivisme, setiap norma hukum harus eksis dalam alamnya yang obyektif sebagai norma-norma yang positif, serta ditegaskan dalam wujud kesepakatan kontraktual yang konkret antara warga masyarakat atau wakil-wakilnya.
          Dalam menjawab persoalan itu, sebagai negara yang menganut aliran positivisme, mau tidak mau cara berpikir aliran positivisme itulah yang harus diterapkan. Inilah yang disebut dengan tertib berpikir. Dengan kata lain, terlepas dari serba keburukan-keburukan yang melekat pada aliran hukum positivisme ini, cara memandang persoalannya harus dengan kacamata positivisme. Bukan dengan dasar filosofis lainnya.
Karena  melihat persoalan hukum ini melalui kacamata positivisme, maka harus melihat kembali fakta-fakta substansi  hukum Pidana  Indonesia dalam menjawab persoalan ini, sebagai negara yang menganut aliran positivisme, mau tidak mau cara berpikir aliran positivisme itulah yang harus diterapkan. Inilah yang disebut dengan tertib berpikir, sehingga hukum Pidana terlepas dari Ins konsistensi hukum.  Dengan kata lain, terlepas dari serba keburukan-keburukan yang melekat pada aliran hukum positivisme ini, cara memandang persoalannya harus dengan kacamata positivisme. Bukan dengan dasar filosofis lainnya. Menurut Hans Kelsen, aliran positivisme hukum tidak mempersoalkan keadilan, karena hal tersebut bukan konsen dari hukum.



PERANAN FILSAFAT DALAM MENCEGAH KETERPURUKAN HUKUM.

Setelah melihat dan menganalisis tentang kasus di atas maka secara jelas dalam kasus tersebut hakim terlalu normative dalam memutuskan perkara. Hakim tidak memperhatikan kajian  secara empiris dalam hal ini tidak memperhatikan aspek sosiologi. Contoh kasus tersebut di atas merupakan salah satu bukti bahwa penegakan hukum di Negara kita hari ini masih sangat jauh dari harapan.
Dalam kajian Filsafat Hukum yang terus menerus menggugat “ketidakadilan” dan terus menerus mempersoalkan “keadilan”, isu hukum menjadi salah satu topik yang menarik untuk didiskusikan. Banyak lahir pemikiran besar yang terus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan ilmu hukum.
Kita kemudian mengenal Immanual Kant, Hans Kelsen, Hart, Thomas Aquinas, John Locke, Hugo Grotius sekedar menyebutkan nama yang mempengaruhi pemikiran besar dalam perkembangan filsafat hukum. Dalam ranah filsafat hukum, secara sederhana dirumuskan, Menegakkan keadilan harus menjadi tujuan negara (Plato). Keadilan sebagai nilai yang paling sempurna/lengkap. Hukum harus membela kepentingan atau kebaikan bersama/Common good)  (Aristoteles). hukum sebagai sistem harus adil (H. L. A. Hart). Dalam perkembangan dalam abad pertengahan yang sangat theosentris yang dicanangkan oleh Agustinus dan Thomas Aquinas, hukum yang tidak adil sama sekali bukan hukum. Dalam lingkungan hukum islam, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Sina dan Ibnu Rushd (hanya beberapa tokoh pemikiran Islam sekedar contoh),  Hukum dalam Fiqh bersifat theosentris yang didasarkan kepada wahyu Illahi. Inilah yang disebut hukum islam. Pemikiran Aquinas diteruskan pengikutnya seperti ahli hukum Belanda seperti Hugo Grotius, Sedangkan pada abad 17 – 19 yang ditandai perkembangan industri dan perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu dahsyat (sebagian menamakan sebagai abad pencerahan), pemikiran ini kemudian digagas dari Inggeris David Hume dan John Locke. Pada masa inilah kemudian lahir mahzab “positivisme hukum”. Mazhab ini kemudian menemukan bentuknya ketika Thomas Hobbes dan Immanual Kant yang meletakkan eksitensi negara pada hukum positif diatas keadilan kontraktual. Menurut Hobbes, keadilan sama dengan hukum positif, maka hukum positif menjadi satu-satunya norma untuk menilai apa yang benar dan salah, atau adil dan tidak adil. Pemikiran ini kemudian tampak dalam Immanual Kant. Menurutnya, hak atas kebebasan individu pada titik sentral konsepnya tentang keadilan. Keadilan akan terjamin apabila warga mengatur perilaku dengan berpedoman pada nilai-nilai universal. Pada akhir abad ke-19, perkembangan filsafat hukum ditandai dengan aliran baru yang dikenal dengna nama mazhab Historis. Menurut Hegel, hukum merupakan realitas politik harus dilihat sebagai tatanan etis yang secara normatif mengarahkan perilaku manusia. Sedangkan Savigny, hukum sebagai refleksi etika sosial masyarakat. Hukum yang baik, harus merupakan refleksi dari nilai etika masyarakat, Mazhab ini kemudian menjadi inspirasi bagi aliran hukum mazhab sosiologis. Hukum tidak dapat dipahami secara tepat tanpa pemahaman sistematis mengenai tujuan yang melahirkan hukum, yang dapat ditemukan dalam kehidupan social. Selanjutnya lahir pemikiran hukum mazhab realisme hukum. Menurut Roscoe Pound yang dikenal sebagai social engineering, hukum tidak dapat diterapkan sesuai dengan kitab hukum. Hukum harus memuat ajaran dan sekaligus ideal yang mendorong masyarakat ke masa depan yang lebih baik. Hukum harus menjadi alat sosial (social engineering), Ini diperkuat oleh Ronald Dworkin yang menegaskan, jika memahami hukum, maka kita harus memperhatikan bagaimana hukum itu diterapkan oleh hakim. Hukum baru menjadi   hukum yang sebenarnya ketika digunakan hakim untuk menyelesaikan kasus hukum.

Berangkat dari pernyataan Ronald Dworkin yang telah menegaskan “hukum baru menjadi hukum” yang sebenarnya ketika digunakan hakim untuk menyelesaikan kasus hukum” dan pertikaian teoritis antara rasionalitas dan Empirisisme yang berhasil didamaikan oleh Immanuel Kant dalam bukunya “Kritik der Reinen Vernunfft (kritik atas rasio murni), maka kita akan dapat mengidentifikasi pemikiran hakim sebelum menjatuhkan putusannya. Menurut Immanuel Kant, pengetahuan kita merupakan sintesis antara unsur-unsur a priori (lepas dari pengalaman) dan a posteriori (berdasarkan pengalaman). Dengan menggunakan pendekatan Ronald Dworkin dan pernyataan Immanuel Kant kemudian dapat dirumuskan bagaimana pemikiran hakim sebelum menjatuhkan putusan. Pertanyaan akan muncul. Apakah hakim sebelum menjatuhkan putusan (didalam pertimbangan vonis) akan bersikap independent atau akan bersikap dependent. Dalam kajian filsafat hukum, tentu saja kita akan mudah menjawabnya, hakim harus netral, imparsial dan menggunakan pendekatan ilmu hukum normatif untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi.


Namun fakta-fakta membuktikan sebaliknya. Dalam berbagai kasus yang sering kita lihat di berbagai media (termasuk pemberitaan lokal yang menyidangkan pelaku korupsi dimana hakim yang membacakan putusan dengna menitikkan air mata), pengetahuan hakim berangkat dari a priori dan a posteriori. Tuntutan publik agar pelaku dihukum berat, ada ketakutan membebaskan pelaku korupsi, semangat anti korupsi yang terus menerus dikampanyekan merupakan salah satu dependent yang mempengaruhi hakim sebelum menjatuhkan putusan. Belum lagi pendidikan, pengalaman, pekerjaan, lingkungan pergaulan, pandangan politik, jenis kelamin, struktur sosial yang juga mempengaruhi hakim didalam putusannya. Berangkat dari sintesis  a priori dan a posteriori dalam lingkup independent dan dependent hakim sebelum memutuskan perkara, pertimbangan hakim mempunyai bahan kajian yang menarik untuk selalu didiskusikan. Dari ranah inilah kemudian kita dapat melihat bagaimana hukum dapat “mewarnai” berbagai perkembangan hukum yang tentu saja memberikan pengetahuan didalam menyelesaikan berbagai persoalan sehari-hari.

Selanjutnya yang menjadi permasalahan apa peranan dari filsafat hukum dalam mencegah keterpurukan hukum?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut diatas maka kita terlebih dahulu harus mengetahui filsafat hukum itu sendiri. Seperti yang telah  diketahui bahwa filsafat hukum itu adalah cabang filsafat yang membicarakan apa hakekat hukum itu, apa tujuannya, mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum.
Perananan filsafat dalam mencegah keterpurukan hukum adalah dengan menciptakan penegak hukum yang professional. Mengapa? Karena dengan diciptakannya penegak hukum yang yang professional maka akan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya hukum dalam hidup bersama, menumbuhkan ketaatan pada hukum, menemukan ruhnya hukum, menghidupkan hukum dalam masyarakat dan akan memacu penemuan hukum baru.
Factor peran pentingya filsafat bagi para penegak hukum yang professional adalah ;
1.      Dengan belajar filsafat diharapkan akan dapat menambah ilmu pengetahuan, karena dengan bertambahnya ilmu akan bertambah pula cakrawala pemikiran dan pangangan yang semakin luas
2.      Dasar semua tindakan. Sesungguhnya filsafat di dalamnya memuat ide-ide itulah yang akan membawa mansuia ke arah suatu kemampuan utnuk merentang kesadarannya dalam segala tindakannya sehingga manusia kaan dapat lebih hidup, lebih tanggap terhadap diri dan lingkungan, lebih sadar terhadap diri dan lingkungan
3.      Dengan adanya perkembangan ilmu pengethauan dan teknologi kita semakin ditentang dengan kemajuan teknologi beserta dampak negatifnya, perubahan demikian cepatnya, pergeseran tata nilai, dan akhirnya kita akan semakin jauh dari tata nilai dan moral.

Setiap profesi termasuk aparat pemerintah menggunakan filsafat hukum untuk menyediakan struktur yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan menyediakan garis batas nilai yang dijadikan acuan dalam mengemban tugasnya sehari-hari. Dengan demikian dapat dikatakan filsafat hukum ibarat kompas yang memberikan atau menunjukkan arah pandang bagi aparat pemerintah sekaligus menjamin mutu moral profesi di hadapan masyarakat.
Hal yang penting dipahami ialah bahwa filsafat hukum tidak membebankan sanksi hukum atau paksaan fisik. Filsafat hukum dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa sanksi atau paksaan dari pihak luar setiap orang akan mematuhinya. Dorongan untuk mematuhi filsafat hukum bukan dari adanya sanksi melainkan dari rasa kemanusiaan, harga diri, martabat dan nilai-nilai filosofis.
Ada beberapa maksud yang terkandung dalam pembentukan filsafat hukum, yaitu:
1.      Menjaga dan meningkatkan kualitas moral
2.      Menjaga dan meningkatkan kualitas keterampilan teknis
3.      Melindungi kesejahteraan materiil pengemban profesi
Selanjutnnya supaya hukum yang dibangun dan dibentuk memiliki landasan yang kokoh untuk jangka panjang dan tidak akan dipertentangkan dengan pemahaman filsafat barat dan timur, pengetahuan tentang filsafat hukum barat yang masih mendominasi pengetahuan filsafat hukum Indonesia seharusnya diselaraskan dengan filsafat Pancasila sebagai Dasar Negara RI.
Yang terakhir agar supaya keterpurukan “ kesalahan” dalam mengadili dapat diminimalisasi maka dalam mengkaji sebuah kasus harus berusaha mencari atau mengungkap hakikat dari hukum tersebut dan juga harus menganalisis konsep-konsep fundamental dalam hukum yaitu keadilan, kesamaan, kepastian dan tujuan hukum itu sendiri.
Filsafat hendaknya memberikan keyakinan kepada kita untuk menompang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang menjadikan penggolongan-penggolongan berdasarkan  ras, dan keyakinan keagamaan mengabdi kepada cita mulia kemanusiaan, tanpa mengindahkan norma/nilai-nilai yang berlaku dan melekat dimasyarakat itu sendiri.











 

1 komentar: