Minggu, 01 Maret 2015

hukum agraria



Soal:
1.       Salah satu tujuan mempelajari sejarah hukum adalah memahami sistem hukum pada masa lalu. Coba anda jelaskan manfaat mempelajari sistem hukum yang anda ketahui, misalnya: bidang hukum Pertanahan, bidang Peradilan, Kepolisian, Tindak Pidana Korupsi, Pencurian ikan (Ilegal fishing, Perdagangan orang (human Traficking). Pilih salah satu contoh diatas sebagai obyek kajian.

2.       Hukum Positif yang berlaku di Indonesia merupakan hasil konkordansi dari penjajah Belanda (civil law system/ eropa continental),  padahal menurut Friedman, hukum yang baik adalah hukum yang memiliki kandungan filosofis, yuridis dan sosiologis. Bagaimanakah anda menjelaskan hal itu?


3.       Fokus perhatian masyarakat tentang hukum sebelum revolusi industry adalah individu. Bagaimanakah perkembangannya sampai era global sekarang ini? Faktor apakah yang mempengaruhinya? Jelaskan

Jawaban:

1.    Hukum Agraria

Hukum Agraria diberikan dalam rangka memberi pemahaman terhadap empat prinsip pokok yaitu tentang hak penguasaan utamanya tentang hak perseorangan atas tanah serta pokok tentang hubungan antara subyek hukum dengan hak atas tanah sehingga bisa melahirkan pemilikan hak oleh setiap subyek hukum, pendaftaran tanah serta landreform.
Adapun detail dari empat pokok tersebut meliputi hak penguasaan yang meliputi :
1.     hak bangsa
2.     hak menguasai negara
3.     hak ulayat, hak perseorangan (hak atas tanah),
4.     hak jaminan dan hak wakaf.

Sementara bagaimana hubungan hukum bisa tercipta dengan tanah sehingga subyek hukum dapat mempunyai hak dijelaskan melalui konversi/penetapan undang-undang, permohonan hak, peralihan hak yang meliputi pewarisan, jual beli, tukar menukar termasuk Ruilslaag, Built Operating and Transfer sebagai fenomena baru, kemudian tentang pelepasan hak, Pendaftaran Tanah. Landreform, Land-Use Planning, serta studi kasus untuk memberikan pengalaman kepada mahasiswa tentang masalah-masalah aktual tentang tanah.


Landasan Hukum Agraria 

Landasan Hukum Agraria ialah ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 45 yang merupakan sumber hukum materiil dalam pembinaan hukum agraria nasional. Hubungan hukum agraria Pasal 33 (3) UUD 45 dengan UUPA adalah dimuatnya pasal tersebut dalam Konsideran UUPA, Pasal 33 (3) dijadikan dasar hukum bagi pembentukan UUPA dan merupakan sumber hukum (materiil) bagi pengaturannya. bahwa hukum agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960, yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong. Dalam penjelasan UUPA angka 1 disebutkan bahwa hukum agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan dari pada azas kerokhanian, Negara dan cita-cita Bangsa, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya harus merupakan pelaksanaan dari pada ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Garis-garis Besar Haluan Negara. Pengaturan hukum agraria dalam UUPA yaitu untuk mengatur pemilikan dan memimpin penggunaannya, harus merupakan perwujudan dan pengamalan dasar negara pancasila dan merupakan pelaksanaan dari UUD 45 dan GBHN. Hukum agraria UUPA harus meletakkan dasar bagi hukum agraria nasional yang akan dapat membawa kemakmuran, kebahagiaan, keadilan serta kepastian hukum bagi bangsa dan negara.


2.            Hukum positif yang berlaku di Indonesia merupakan civil law system / eropa continental yang memiliki komponen substansi hukum didalamnya. Substansi hukum adalah peraturan-peraturan yang dipakai oleh para pelaku hukum pada waktu melaksanakan perbuatan-perbuatan serta hubungan-hubungan hukum. Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan. Wikisource memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan The Civil Code. Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW) yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri diadopsi dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian. Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian, yaitu: Buku I tentang Orang, Buku II tentang Benda, Buku III tentang Perikatan, Buku IV tentang Pembuktian dan Daluwarsa.

Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure) merupakan kerangka, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan instansi-instansi penegak hukum. komponen substansi hukum (legal substance) merupakan aturan-aturan, norma-norma dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun, dan komponen budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum.
Struktur Hukum yang kemudian dikembangkan di Indonesia terdiri dari :
1. Kehakiman (Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Pokok-pokok kekuasaan Kehakiman)
2. Kejaksaan (Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan)
3. Kepolisian (Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Kepolisian RI)
4. Advokat (Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat)

Struktur berhubungan dengan institusi dan kelembagaan hukum, bagaimana dengan polisinya, hakimnya, jaksa dan pengacaranya. Semua itu harus ditata dalam sebuah struktur yang sistemik. Kalau berbicara mengenai substansinya maka berbicara tentang bagaimana Undang-undangnya, apakah sudah perundang-undangannya. Dalam budaya hukum, pembicaraan difokuskan pada upaya-upaya untuk membentuk kesadaran hukum masyarakat, membentuk pemahaman masyarakat memenuhi rasa keadilan, tidak diskriminatif, responsif atau tidak. Jadi menata kembali materi peraturan terhadap hukum, dan memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat.
Berkaitan dengan budaya hukum (legal culture) ini, menurut Roger Cotterrell, konsep budaya hukum itu menjelaskan keanekaragaman ide tentang hukum yang ada dalam berbagai masyarakat dan posisinya dalam tatanan sosial. Ide-ide ini menjelaskan tentang praktik-praktik hukum, sikap warga negara terhadap hukum dan kemauan dan ketidakmauannya untuk mengajukan perkara, dan signifikansi hukum yang relatif, dalam menjelaskan pemikiran dan perilaku yang lebih luas di luar praktik dan bentuk diskursus khusus yang terkait dengan lembaga hukum. Dengan demikian, variasi budaya hukum mungkin mampu menjelaskan banyak tentang perbedaan-perbedaan cara di mana lembaga hukum yang nampak sama dapat berfungsi pada masyarakat yang berbeda.

Aspek kultural menurut Friedman melengkapi aktualisasi suatu sistem hukum, yang menyangkut dengan nilai-nilai, sikap, pola perilaku para warga masyarakat dan faktor nonteknis yang merupakan pengikat sistem hukum tersebut. Wibawa hukum melengkapi kehadiran dari faktor-faktor non teknis dalam hukum. Wibawa hukum memperlancar bekerjanya hukum sehingga perilaku orang menjadi positif terhadap hukum. Wibawa hukum tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang rasional, tetapi lebih daripada itu mengandung unsur-unsur spiritual, yaitu kepercayaan. Kewibawaan hukum dapat dirumuskan sebagai suatu kondisi psikologis masyarakat yang menerima dan menghormati hukumnya.

Menurut Friedman budaya hukum diterjemahkan sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum dan lembaganya, baik secara positif, maupun negatif. Jika masyarakat mempunyai nilai nilai yang positif, maka hukum akan diterima dengan baik, sebaliknya jika negatif, masyarakat akan menentang dan menjauhi hukum dan bahkan menganggap hukum tidak ada.membentuk undang-undang memang merupakan budaya hukum. Tetapi mengandalakan undang-undang untuk membangun budaya hukum yang berkarakter tunduk, patuh dan terikat pada norma hukum adalah jala pikiran yang setengah sesat. Budaya hukum bukanlah hukum. Budaya hukum secara konseptual adalah soal-soal yang ada di luar hukum.

3.    Sejarah perkembangan revolusi industri yang menjadi fokus perhatian masyarakat sampai saat ini dijabarkan sebagai berikut:

Indonesia memasuki era Industrialisasi Sejak Tahun 1826
Era Industri Indonesia dimulai pada jaman kolonial Belanda. Yang mengejutkan, dari beberapa fakta, ternyata era Industri ini berdekatan waktunya dengan awal perkembangan Industri di Inggris dan Amerika, yaitu abad ke-18. Industri di Indonesia dimulai bersamaan dengan awal perkembangan Pabrik-pabrik Gula di Jawa. Gula  merupakan komoditas utama pada jaman kolonial Belanda. Pada tahun 1667 datang sekelompok pedagang Belanda di Pulau Jawa yang mendirikan VOC. Dengan peningkatan permintaan gula di Eropa maka pada tahun 1750 pabrik milik etnis Cina disewa untuk memproduksi gula di Eropa terutama di pantai utara Jawa.

 Penggilingan Tebu Tradisional pada masa Kolonial
Awalnya teknologi pengolahan tebu menjadi gula begitu sederhana dan tradisional. Cairan atau sari tebu didapat dari alat pengepres berupa silinder batu atau kayu yang diletakkan berhimpitan. Salah satu silinder diberi tonggak yang digerakka secara manual oleh manusa atau ternak. Satau orang atau lebih memasukkan tebu ketengah putaran silinder. Hasil press berupa cairan sari tebu dialirkan ke kuali besar dibawahnya. Mekanisme Penggilignan Tebu Tradisional Karena tingginya permintaan diEropa, perlahan teknologi ini ditinggalkan. Mulailah Indonesia pada jaman Hindia Belanda memasuki Era Industrialisasi dalam arti sebenarnya, yaitu penggunaan mesin-mesin dalam melakukan proses produksi, sehingga meskipun menghasilkan volume output sangat tinggi dibanding manual, quality tetap terjaga.
Dengan didukung modal besar, pada tahun 1830, pabrik gula di Jawa Barat bertenaga mesin mulai berdiri, Ini dapat dilihat dengan adanya salah satu surat dari Jessen Trail and Company yang ditujukan pada NHM ( Bank ) yang berisi :

“In Embarking on the enterpries we now on hand, we very sensible of the deficiency of the rude and imperfect machinery by which the manufacture of sugar was carried on here, and therefore determined to import European machinery, with skillfull men to conduct the same … We now have ( 1826 ) three sets of mills. Where we employ a European horizontal mill with three cylinders, driven by a six horse power steam engine, a European eight horse power mill, with three cylinder. Worked by complete sets of iron boilers and iron and coppers clarifiers, as also three distilleries, comprising six European copper stills … and a suitable complement of fermenting system for distiling the molasses inti Arak and Rum .”[1]

Terjemahan bebasnya kurang lebih seperti ini.
“ Dalam memulai perusahaan – perusahaan kita saat ini, kami sangat menyadari mesin-mesin yang digunakan untuk pembuatan gula sangat tidak efisien dan tidak sempurna, oelh karena itu kami ingin mendatangkan mesin – mesin dari Eropa beserta tenaga ahlinya. Kami saat ini ( 1826 ) memiliki tiga pabrik penggilingan. Menggunakan  mesin giling horisontal dari Eropa dengan tiga silinder, berpenggerak mesin uap  6 HP dan 8 HP, komplet dengan unit ketel uap (boillers), clarifiers dari tembaga dan besi, dan tiga unit mesin destilasi  ( destilleries ) dan enam unit penyulingan berbahan tembaga dari Eropa…dan dilengkapi dengan sistem fermentasi untuk pembuatan arak dan rum.”
Mesin Giling Tebu
Dari surat diatas dapat kita lihat bahwa sejak tahun 1826, Indonesia pada jaman Hindia Belanda telah memiliki tiga pabrik gula menggunakan mesin - mesin produksi dan  Steam Engine ( Ketel Uap ). Inilah titik awal lahirnya Industri di Indonesia. Pesatnya pertumbuhan industri gula saat itu juga diikuti oleh pertumbuhan industri kereta api di akhir abad ke-18. Tercatat, sejarah perkeretaapian di Indonesia diawali dengan pencangkulan pertama pembangunan jalan kereta api di desa Kemijen, Jumat tanggal 17 Juni1864, oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. L.A.J Baron Sloet van den Beele. Pembangunan diprakarsai oleh "Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij" (NV. NISM) yang dipimpin oleh Ir. J.P de Bordes dari Kemijen menuju desa Tanggung (26 Km). Sedangkan diluar Jawa ( Sumatera ), pembangunan Rel KA juga dilakukan di Aceh tahun 1874, Sumatera Utara tahun 1886, Sumatera Barat tahun 1891, dan Sumatera Selatan tahun 1914. Kereta Api pada masa itu digerakkan oleh lokomotif  uap ( steam engine ) hasil pembakaran batu bara atau kayu.

Lokomotif uap milik Deli Spoorweg Maatschappij  (tahun 1910-an)
Kesimpulannya, beberapa faktor berikut merupakan pendorong terjadinya era industri di Indonesia ( evolusi Industri di Indonesia ) yang dimulai sejak tahun 1826 :
1. Penemuan mesin uap oleh James Watt’s Th. 1764
2. Berkembangnya teknologi permesinan dalam industri manufacture sebagai dampak dari  Revolusi Indsutri di Inggris tahun 1800
3. Tingginya permintaan komoditas gula di Eropa
4. Ketersediaan tenaga kerja murah melalui sistem kerja kontrak oleh Pemerintah Hindia Belanda
5. Ketersediaan Bahan Baku (tebu) murah melalui sistem tanam paksa (cultuurstelsel) tahun 1830.
6. Perkembangan  Indsutri  Kereta Api.
Bedasar  fakta diatas, titik awal  Indonesia memasuki era Industrialisasi yaitu pada tahun 1826. Jika Industri di Eropa mulai mengalami percepatan pada tahun 1800, dan di Amerika tahun 1804, Indonesia pada era  Hindia Belanda memerlukan waktu 34 tahun untuk menggunakan teknologi  permesinan. Sudah 182 tahun Indonesia memasuki era Industrialisasi. Jika kita mengenal ada tiga tahap perkembangan Industri, mulai dari padat karya, industri berat, dan industri telekomunikasi – informatika. Masuk tahapan manakah  Industri nasional saat ini ? Mudah – mudahan ini  menjadi perenungan kita, karena saya pun masih tidak memahami, kemana arah pembangunan industri  nasional.  Faktanya,  industri logam  dan kimia dasar  di Indonesia belum dapat menopang sepenuhnya kebutuhan Industri. Sampai detik ini, kebijakan import masih menjadi pilihan utama  para pengambil kebijakan.



[1] http://ardhipglestari.blogspot.com/2010/02/sejarah-pabrik-gula-hindia-belanda.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar